Oleh
: Naima Janatin Akbar
“Kamu
itu sebenarnya lembur di kantor atau bermesraan dengan Rinta?”
Mata
Elang suaminya keluar, namun sama sekali tak membuatnya takut. Alya memang
sering menyebut mata suaminya sebagai mata Elang, sebab baginya ketika suaminya
menatapnya tajam tak pernah kalah dengan tajamnya mata Elang.
“Berhenti mengatakan
itu. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Rinta. Tapi Rinta yang mengejar-ngejar
aku.”
Untuk kesekian kalinya
mereka membahas masalah itu lagi meski keduanya sudah bosan. Bagaimana tidak
bosan? Masalah itu seperti tak ada ujungnya.
“Omong
kosong.” suara Alya mulai keras dan meninggi.
Suaminya
hanya diam, lalu memilih tidur di depan televisi. Alya yang masih mengomel
tidak diperhatikan sama sekali. Lihatlah. Mereka benar-benar tidak membutuhkan
drama romantis antar suami istri. Brakkk...!
Pintu kamar ditutup Alya dengan sangat kencang. Sepertinya kesabarannya sebagai
seorang istri sudah habis.
Itu
malam terakhir sebelum suaminya menghilang. Kini sudah hampir satu bulan
suaminya tidak pulang ke rumah dan tanpa kabar.
Meski begitu ia dan Ofi
anak perempuannya masih bisa bertahan hidup dari hasil usaha studio foto dan
kolam renang yang telah dirintis bersama suaminya. Ia juga bisa bekerja
kantoran mengurus laporan keuangan. Dulu, sebelum usaha studio foto dan kolam
renang naik daun, bekerja kantoran menjadi makanan pokoknya juga suaminya
sehari-hari. Tapi, nafkah batin juga diperlukannya di samping nafkah lahir.
Istri mana yang tidak mau dibelai rambutnya dan dicium keningnya oleh suaminya?
Kini pikirannya kembali
bertanya-tanya : Kamu sedang dimana? Apa yang kamu lakukan di sana? Apa kamu
benar-benar ingin pergi dariku? Apa aku sebagai istri kurang bisa melayanimu?
***
Ia menyetir mobil
sendiri ketika gerimis menemani perjalanannya pulang ke rumah Sabtu itu.
Mungkin hanya gerimis yang tetap setia menemaninya sampai kapan pun.
Saat
berhenti di lampu merah. Di seberang kiri, banyak muda-mudi berseragam sekolah
berteduh di halte bus. Di antara mereka, tidak ada seragamnya yang sempurna
kering. Mungkin mereka lupa membawa payung. Atau mungkin mereka malas membawa
payung ke sekolah. Matanya melebar saat melihat laki-laki dan perempuan ada di
bawah satu payung berjalan menuju halte. Mereka saling bercanda ria dan tertawa
lepas. Bukannya ia iri atau merasa cemburu. Seragam mereka yang berwarna putih
merah yang membuatnya tidak suka. Mungkin mereka belum tahu kalau cinta tidak
sesederhana dan semudah itu, batinnya dalam hati. Ia bertanya-tanya sendiri.
Apakah mereka sudah pubertas? Apakah mereka tidak malu dilihat banyak orang?
Apakah orang tua mereka tetap membiarkannya jika tahu? Apakah... Teet... Teet... Teet... Bunyi klakson yang
bersahut-sahutan dari arah belakang mengagetkannya. Alya cepat-cepat melajukan
mobilnya.
Sampai
di rumah, setelah memasukkan mobil ke garasi, ia menutup pintu pagar. Ia memang
tidak memiliki asisten rumah tangga. Ia hanya memiliki tukang kebun. Itu pun
tidak setiap hari ada di rumahnya. Tukang kebun hanya akan datang jika ada
tanaman apapun itu di halaman rumahnya yang perlu perawatan serius.
“Tumben
mama jam segini sudah pulang?”
Ia baru sadar kalau Ofi
sedang duduk-duduk di teras. Dilihatnya arloji di pergelangan tangan kirinya.
Pukul 3 sore. Memang biasanya pukul 4 sore ia baru keluar dari studio foto.
“Sudah
ada karyawan mama yang menjaga studio foto,” jawabnya sekedarnya, lalu
melenggang masuk ke dalam rumah.
Rinta.
Perlahan ia mengeja lima huruf itu. Lima huruf yang sudah merebut segalanya
darinya. Merebut suaminya. Merebut kebahagiannya. Dan sempat akan merebut
hartanya. Mantan kekasih suaminya itu memang jahat. Bayangkan saja, hampir satu
bulan yang lalu dia datang menemui suaminya di tepi kolam renang-yang jadi
usahanya bersama suaminya-dengan cara memeluknya erat-erat dari belakang. Hati
istri mana yang rela jika suaminya bermesraan dengan wanita lain? Tidak hanya
itu. Ia juga sempat mendengar saat dia mengajak suaminya makan malam berdua. Tapi
untungnya suaminya menolak. Ia pun menghela nafas lega.
“Arrrggghhhhh...” ia
mengerang.
Karena merasa begitu
lelah dan tidak mood, ia memilih mandi air hangat sore itu. Usai mandi air
hangat tiba-tiba anak perempuannya masuk dan meletakkan segelas lemon hangat di
atas meja kamar. “Mama kalau tidak segera keluar dari kamar sepulang kerja,
pasti malas makan. Makanya ini aku buatkan lemon hangat kesukaan mama.”
Alya
tertegun. Anak perempuannya itu memang tahu apa yang sedang dibutuhkannya.
“Diminum ya, ma. Aku
tinggal dulu.”
Alya mengamati anak
perempuannya. Mengapa ia baru sadar kalau anak perempuannya yang akan menginjak
remaja itu semakin tinggi dan cantik? Waktu memang begitu cepat berlalu. Ah,
mungkin karena ia terlalu sibuk memikirkan masalahnya dengan suaminya, sehingga
tidak mengetahui pertumbuhan anak semata wayangnya itu.
Tanpa menunggu jawaban
dari mama, dan Ofi memang tidak berharap mamanya akan menjawab. Sebagai anak ia
sudah hafal, mamanya kalau tidak mood jadi tidak banyak bicara. Ofi lalu keluar
dari kamar mamanya, lalu menutup pintu pelan-pelan.
***
Enam hari kemudian.
Hari Jumat. Mbak Tanti, satu dari tiga karyawannya yang bekerja di studio foto
mengabari lewat sms. Siang itu ada seseorang yang mencarinya. Seseorang itu
tidak mau menyebut identitasnya, dan akan tetap menunggu di studio foto sampai
ia datang.
Awalnya
ia tidak peduli. Tapi sorenya, pikirannya berubah. Sepeda motor dikeluarkan
dari rumah, lalu dikendarainya sendiri ke studio foto. Tak lupa sebelum
berangkat ia pamit ke Ofi untuk bertemu dengan seseorang di studio foto.
Di kursi tamu yang ada
di studio foto. Rupanya dia masih menunggu.
Ia terkejut saat dia
memberikan buket mawar putih untuknya. Mata Alya melirik ke sekitar. Ada mbak
Tanti yang mengawasi. Alya menerima bunga itu dengan meletakkannya di
pangkuannya. Keduanya lalu duduk bersebelahan.
“Arnes, jangan
berlebihan seperti ini.”
Arnes hanya tersenyum.
Laki-laki lajang di sebelah kanannya memang laki-laki yang mapan dan tampan. Tapi
ia tidak nyaman saat dia tiba-tiba datang membawa kejutan.
“Besok
ulang tahun Ofi dirayakan di sekolahnya ya?”
Alya
tersentak. Darimana dia tahu kabar itu? Apakah dia juga tahu kalau suaminya
kini sedang menghilang?
“Katakan
saja apa maumu.” kata Alya dengan tegas.
Arnes tersenyum lagi. “Ijinkan
aku bisa bergabung di acara ulang tahunnya Ofi besok,” Kalimatnya menggantung.
Ia mengatur degup jantungnya. “sebagai kerabat dekatnya.”
Ia memang membutuhkan
seorang laki-laki untuk mendampinginya besok. Tapi... ia teringat dengan
sesuatu. Sesuatu yang pernah Arnes katakan kepadanya ketika keduanya satu kelas
di SMA.
“Alya,
ada laki-laki yang lebih baik untukmu,” ucap Arnes ketika itu.
Memang terdengar klise.
Ia tahu, di luar sana banyak penolakan halus dengan cara demikian. Ia berpikir,
apa tidak ada kata-kata lain untuk menolak?
Ketika itu, ia berusaha
tetap kuat. Apalagi dia menolak ketika ia belum mendapatkan kampus untuk
melanjutkan pendidikan. Bayangkan saja. Ketika ia harus berkutat dengan
buku-buku persiapan tes masuk kampus, ketika itu pula cinta menolaknya. Karena
pendidikan tetap diutamakan, ia mudah melepaskan dia untuk memilih perempuan
lain, dimana perempuan itu teman sekelasnya juga. Lalu, apa maksudnya dia
menemuinya lagi?
“Tidak bisa, karena
kamu bukan papanya Ofi.”
Degh!
Dada Arnes tiba-tiba terasa sakit. Tapi dia tetap berusaha untuk menguasai
keadaan. Matahari sempurna tenggelam di ujung barat, seperti nasibnya yang
tenggelam dalam mengharapkan Alya kembali.
“Baik kalau begitu.”
jawabnya. Dia berdiri. “Aku pulang dulu.”
Alya
ikut berdiri, tanpa tersenyum. Ia menghela nafas lega ketika Arnes masuk ke
dalam mobil Avanza berwarna putih lalu pergi.
Handphonenya berdering.
Ada sebuah pesan masuk.
Dari : anakku
Ada teman mama yang menunggu di
rumah.
Teman? Siapa lagi? Tapi
ia tidak membalas pesan anaknya hanya untuk bertanya siapa nama temannya yang
sedang menunggunya.
Alya
membuang buket mawar putih itu ke tempat sampah sebelum pulang ke rumah. Buat
apa sebagai penerima ia tidak tega, sementara pemberinya saja pernah tega
kepadanya? Ia memang menyukai mawar putih, tapi ia sudah tidak suka lagi dengan
semua pemberian dari dia. Apapun itu. Tanpa terkecuali.
“Mas
Arkan...” suara Alya ragu-ragu usai membuka pintu rumah. Di ruang tamu rumahnya telah
ada suaminya dan anak perempuannya.
Alya mematung. Matanya berkaca-kaca.
Suaminya mendekat, Alya cepat jatuh di pelukan suaminya.
“Jadi
kamu...”
“Jangan membahas itu
lagi.”
Alya
tahu. Dari dulu suaminya selalu lebih tenang darinya.
“Kamu
kembali.” kata-kata Alya akhirnya keluar. Kata-kata yang sejak suaminya
menghilang selalu diharapkannya. Sampai sekarang.
Suaminya melepaskan
pelukan.
“Perempuanku hanya kamu.”
Suaminya menghela nafas. “Hampir satu bulan aku di kampung halaman. Aku
mengunjungi orang tua, saudara-saudara, juga teman-teman. Aku menenangkan diri.
Kalau tidak percaya, kamu tanya saja ke mereka semua. Tapi...” Kalimatnya
tertahan. “Aku tidak membicarakan pertengkaran kita ke mereka.”
Alya meneteskan air
mata. “Aku percaya.”
Sepasang mata anak
perempuannya dipandangnya dengan penuh cinta. Ia tidak bisa lagi meninggalkan
sepasang mata itu. “Besok papa pasti datang di ulang tahunmu, sayang.”
(Selesai)

Aku selaku suka tulisan ning naima ini, namun ada hal yang menurutku kurang. Tulisan mbak, kurang hidup.. terimakasih mbak
BalasHapus