Oleh : Naima Janatin
Akbar
Aku masih di
teras rumah. Mendung hitam masih setia membungkus langit. Sepertinya tidak lama
lagi akan turun hujan. Musim hujan sering membuat benda-benda di langit tidak
terlihat dengan terang. Buktinya saja bintang dan bulan tidak terlihat sedikit
pun.
Lima menit
berlalu. Mendung di langit semakin pekat. Mungkin seperti hatiku saat ini yang
sedang pekat. Aku kembali menggantungkan tanya. Namun percuma saja. Tidak ada
orang yang mendengarkan. Kalaupun ada yang mendengarkan, belum tentu orang yang
mendengarkan itu tahu jawaban yang sebenarnya. Rania, anak perempuanku yang
masih berumur 9 tahun itu, sudah tidur di kamarnya sejak setengah jam yang
lalu. Hari memang sudah malam. Aku membuka handphone. Pada layar depannya,
waktu menunjuk pukul 21.30 malam.
Aku mengusap
wajahku. Aku tidak hanya bingung dengan kelakuan suamiku, namun sekarang aku
sudah berpikir yang aneh-aneh tentang suamiku. Apa maksud mas Andi? Apa mas Andi menantang aku dengan bersikap seperti
ini? Tapi apa mungkin mas Andi sebagai suamiku melakukan ini semua? Inilah
yang dinamakan penyakit asmara. Penyakit yang disebabkan karena kesalnya hati
atau sakitnya hati. Bahasa kerennya adalah aku cemburu. Sekarang begini saja.
Baru saja aku mendapat sms seperti ini “Mas
Andi, terima kasih ya sudah diantar jalan-jalan.”. Pengirim sms juga
memberikan keterangan namanya. Yang membuat aku kesal, nama pengirimnya adalah
nama perempuan. Sms itu tidak hanya satu kali, namun tiga kali dari nomor yang
berbeda. Bukankah itu pertanda dari tiga perempuan yang berbeda pula?
Kurasa hampir
semua orang di kota ini tahu dengan Hotel Sekar Melati. Hotel paling terkenal
di kota
Ngawi. Letaknya
strategis, di sebelah timur alun-alun kota Ngawi. Aku sendiri hafal jalan-jalannya dari rumah menuju
hotel itu. Hmmm… Hotel Sekar Melati. Meski aku belum pernah masuk ke dalamnya,
tetapi aku sudah berkali-kali lewat di depannya.
Sejak
kami menikah, baru kali ini suamiku berurusan dengan hotel. Apa suamiku benar-benar berurusan dengan
hotel? Apa hanya mencoba-coba berurusan dengan hotel? Aku memang belum
menanyakan bagaimana sebenarnya, tetapi hati perempuan ini terlanjur memiliki
pikiran yang negatif. Yang jelas, bukti tiga sms dari tiga perempuan itu ada
dan masih kusimpan sampai sekarang. Tiba-tiba hujan mulai mengguyur. Aku
geragapan. Cepat-cepat aku masuk ke dalam rumah dan mengunci semua pintu rumah.
Jendela-jendela sudah kututup sejak menjelang senja tadi. Sampai di kamar, handphoneku
berdering. Dari mas Andi.
“Halo…”
“Halo… Dik, aku
pulang besok ya. Aku masih ada urusan di hotel.”
Aku ragu
mendengar perkataan suamiku. Ini sudah hari ke-3, dan masih ditambah satu hari
lagi. Karena mas Andi adalah sopirnya pak Wahyu, maka mau tidak mau mas Andi
harus menuruti keinginan pak Wahyu.
“Ya mas. Kamu
hati-hati ya?”
“Ya dik. Kamu
dengan Rania juga hati-hati ya? Besok sebelum pulang tak belikan makanan
kesukaanmu dan kesukaannya Rania. Mau kan pastinya?”
Suamiku ini
pasti menggoda. Maaf ya mas, kamu tidak perlu repot-repot menggoda. Aku sedang
tidak bisa digoda.
“Tidak
perlu, mas. Nanti kamu yang jadi repot.”
“Repot
bagaimana dik? Yakin tidak mau dengan yang aku tawarkan?
“Tidak
perlu.” jawabku dengan ada penekanan pada kata-katanya.
Klik.
Telepon aku putus. Lalu, handphone aku matikan. Aku harus bisa tidur, pikirku
dalam hati. Setelah berdoa, aku pun terlelap dalam nyenyaknya tidur.
***
Keesokan
harinya. Setelah Rania berangkat ke sekolah, aku kepikiran lagi dengan mas Andi
dan tiga sms dari tiga perempuan itu. Jam dinding menunjuk pukul setengah
delapan. Masih ada waktu buat menyelidiki masalah itu. Setelah menutup pintu
rumah bagian belakang, jendela-jendela, dan setelah meneliti kompor, sepeda
motor tak keluarkan dari garasi. Pintu rumah bagian depan kukunci rapat. Tempat
tujuanku sudah jelas, yaitu Hotel Sekar Melati. Berani atau tidak berani aku
harus berani.
Sampai
di halaman Hotel Sekar Melati, aku mencari tempat parkir. Setelah melepas
helm dan memarkir sepeda
motor, aku masuk ke dalam. Aku ingin tahu yang sebenarnya.
“Selamat
pagi, bu. Ada yang bisa saya bantu?” sapa resepsionis laki-laki itu begitu
ramah dan bersahabat. Ia masih muda.
“Apa akhir-akhir ini ada seorang laki-laki yang sering chek in di sini, namanya Andi Pradipta?”
“Anda
ada hubungan apa dengan Pak Andi?”
“Saya
istrinya.”
“Ditunggu
sebentar ya, bu.”
Aku
sabar menunggu resepsionis yang masih mencari nama mas Andi di buku tamu.
Hatiku menjadi berdebar-debar menunggu jawaban dari resepsionis itu. Belum
sampai resepsionis memberi jawaban, tiba-tiba…
“Dik,
kenapa pagi-pagi sudah ada di sini?”
Aku
melonjak kaget. Mas Andi. Di sebelahnya mas Andi ada pak Wahyu. Mati aku! Dadaku mendadak gugup. Lidahku
mendadak kelu.
“Dik, kenapa
pagi-pagi sudah ada di sini?” pertanyaan suamiku terlontar lagi.
Aku
takut mendengar suara suamiku yang sedikit menekan. Jangan-jangan aku yang akan
dituduh suamiku melakukan hal yang aneh-aneh di hotel ini. Aduh, bagaimana ini?
“Ini mas, ada urusan dengan resepsionis.” jawabku
sekedarnya.
Mas
Andi melirik aku. Tatapan matanya tajam dan tidak seperti biasanya. Mentalku
pun menciut. Aduh, kenapa jadi seperti
ini?
“Mas
Andi, antarkan istrimu ke rumah saja dulu.” ucap pak Wahyu.
Mas Andi tidak menjawab perkataan pak Wahyu. Ia langsung
menggandeng tanganku menuju
parkiran. Mas Andi sepertinya sudah tahu jika aku membawa sepeda motor ke hotel
ini. Tanpa berkata apa-apa lagi, sepeda motor segera dikendarai mas Andi dan
aku dibonceng di belakangnya. Sepanjang perjalanan kami
tidak
berbicara
apa pun.
***
Setelah sampai
di rumah, kami berdua duduk di meja makan. Mas Andi memandangi aku dengan
tatapan yang semakin tajam. Sebelum ada yang berbicara, aku mengeluarkan
handphone. Bukti tiga sms dari tiga perempuan itu aku perlihatkan ke suamiku.
“Ini
maksudnya apa, mas?”
“Astaga,
dik.”
Mas
Andi merangkul aku. Rambut dan punggungku dibelai-belai dengan lembut. Setelah
itu, mas Andi tertawa terbahak-bahak.
“Mas,
aku butuh keterangan. Tiga sms dari tiga perempuan ini maksudnya apa? Apa kamu
menganggap aku lucu? Kedatangan aku tadi di hotel tadi apa juga kamu anggap
lucu?”
Mas
Andi menghentikan tawanya. Sekarang ia malah mendudukkan aku di pangkuannya.
Ah, seperti pengantin baru saja. Untungnya Rania belum pulang dari sekolahnya.
“Di hotel
tadi aku sudah ingin marah. Bayangkan saja, tadi malam si suami sudah memberi
tahu jika pulangnya masih nanti malam, lha kok ternyata malah bertemu dengan
istrinya di hotel. Dan kamu pun tidak memberi tahu aku dulu kalau mau ke sana.
Aku jadi berpikiran yang aneh-aneh. Tadi saja aku sempat berpikir kalau kamu
akan bertemu dengan laki-laki lain di hotel itu.”
“Jadi
maksudnya apa?”
Mas Andi
tersenyum. “Begini, dik Santi-ku yang manis. Pagi pertama di hotel, nomor yang
aku tulis di buku tamu adalah nomor handphone yang kamu bawa. Setelah aku
merasa mendapat rejeki, siangnya aku membeli handphone baru dan otomatis
nomorku baru. Kamu kan juga kuberi tahu siang itu juga jika handphoneku baru.
Ya kan? Siang itu juga, aku mengganti nomor handphone di buku tamu hotel dengan
nomor yang baru.”
Aku
mengangguk-angguk.
“Kemarin,
tiga keponakan perempuannya pak Wahyu dari Solo diajak pak Wahyu jalan-jalan di
sini.
Dan aku yang menjadi
sopirnya. Setelah
jalan-jalan ketiganya langsung pulang dengan naik bis. Pak Wahyu baru pagi ini
tadi memberi tahu aku jika beliau telah memberikan nomor handphoneku lama
(sekarang nomor itu ada di handphone yang kamu bawa ini) ke tiga keponakan
perempuannya. Pak Wahyu lupa jika aku punya nomor yang baru. Maklum saja kalau
tiga keponakan perempuannya pak Wahyu mengirim sms ke aku seperti itu, karena
mereka baru awal-awalnya punya handphone. Usia mereka pun masih kecil, sekitar
6 sampai 8 tahunan.”
Aku
hanya diam.
“Maksudmu
aku jalan-jalan mesra bersama perempuan lain selain kamu?”
Aku
mengangguk.
“Maafkan
aku, dik. Kamu kan tahu sendiri kalau jadwalnya pak Wahyu sangat padat,
sehingga jadwalku ikut padat. Begini dik, sekarang pak Wahyu tidak hanya punya
hotel Sekar Melati di kota Ngawi ini, namun beliau juga akan punya hotel di Solo. Sekarang
ini pak Wahyu sedang mengurus kepemilikan hotel di Solo tersebut. Jadi aku dan
pak Wahyu terkadang bolak-balik Ngawi-Solo. Kita pun jadi ikut kebagian rejeki.
Buktinya handphone baru ini.”
Aku
tersenyum malu. Aku sudah berprasangka buruk kepada suamiku.
“Apa perlu kalau
pak Wahyu yang memberikan keterangan tentang ini ke kamu?”
“Tidak
perlu, mas. Aku percaya dengan keteranganmu.”
“Sudah ya. Aku
akan kembali lagi ke
hotel. Kalau masih tidak percaya, setelah ini kamu bisa ke hotel lagi. Melihat
apa yang sebenarnya aku lakukan di sana.”
Aku
tertawa. Suamiku ikut tertawa. Masalah tiga sms dari tiga perempuan itu
telah
berakhir. Prasangka burukku
itu sejatinya karena aku mencintai suamiku dan aku tidak ingin kehilangan
suamiku.
Suamiku
sudah berdiri dari tempat duduknya. Aku pun sudah tidak di pangkuannya lagi.
Sesaat, aku dan suamiku bertatapan dengan begitu mesra. Seperti tatapan di hari
pertama pernikahan saja.
“Mas,
nanti malam bawakan makanan kesukaanku dan kesukaannya Rania ya?”
Suamiku
tersenyum kecut, lalu tertawa
lagi.
***

Komentar
Posting Komentar