Perjalanan
Pagi
Oleh : Naima Janatin Akbar
kanggo
: sahabatku
Aku menerima undangan nikahmu dengan
perasaan yang tidak karuan. Senang, sedih, terharu, bercampur
menjadi satu. Senang karena akhirnya kamu menemukan calon kekasih halalmu.
Sedih dan terharu karena aku akan berpisah denganmu.
Tahun
2017, hari kedua di bulan Juli. Aku datang di resepsimu. Ketika kamu di
pelaminan, aku senang kamu tertawa lepas ketika bertemu aku. Tertawamu dan
lucumu itu yang membuatku suka. Tapi itu dulu. Sekarang rasa sukaku ke kamu
harus dibatasi...
Akad nikahmu satu hari
sebelum hari resepsimu. Beberapa hari sebelum akad nikahmu, Okta sahabatmu bertanya
ke aku akan datang kapan. Aku menjawab akan datang ketika resepsimu. Entah
mengapa aku merasa tidak tepat kalau datang di akad nikahmu.
Di
acara resepsimu aku bertemu dengan Okta. Ternyata dia datang di akad dan
resepsimu. Kurasa, kamu dan Okta seperti dua orang yang tidak terpisahkan oleh
jahatnya waktu. Pulang dari resepsimu, aku jadi teringat cerita tentangmu dari Okta.
Kurang lebih ceritanya seperti ini...
Nurin,
entah sudah berapa kali kamu bangun dini hari ketika hari Senin...
Suatu Senin pagi di
bulan April tahun 2015, sekitar pukul 2 dini hari. Seperti biasanya kamu
diantar Tantra kakak laki-laki terdekatmu dengan sepeda motor ke stasiun
Madiun. Kamu akan naik kereta api Arjuna, yang akan membawamu ke Surabaya. Di
tengah perjalanan ke stasiun, tepatnya ketika kakakmu berhenti di lampu merah
atau hendak menyeberang, kamu berusaha mengurangi rasa dingin. Resleting
jaketmu kamu tarik sampai leher. Kamu menggesek-gesek kedua tanganmu supaya
mengeluarkan panas, lalu kamu tempelkan di kedua pipimu. Dan terakhir, kamu
memeluk kakakmu rapat-rapat supaya tidak ada angin lewat di antara kalian.
Nurin, bukankah kamu
bisa ke Surabaya hari Minggu sore supaya kakakmu tidak lelah dan kedinginan
ketika mengantarkanmu? Apalagi rumahmu di Ngawi, bukan di Madiun. Untuk ke
stasiun Madiun yang masih berjarak tiga puluh km dari rumahmu, kakakmu harus
mengendarai sepeda motor kurang lebih satu jam...
“Dik,
perasaan baru kemarin aku menjemputmu. Kok sekarang sudah mengantarkanmu lagi
ya?” kata kakakmu setelah kalian baru saja masuk ke halaman parkir sepeda motor
di stasiun Madiun.
Kamu
mencubit lengan kanan kakakmu. Kakakmu lalu meringis menahan sakit.
“Aku
pulang ke rumah Jumat malam, mas. Bukan kemarin. Enak saja.”
“Bilang
saja kalau kamu itu dikit-dikit kepengin pulang.”
Kamu
menatap tajam kakakmu, karena tidak suka dengan kata-kata kakakmu yang
terakhir. “Iya iya. Aku orangnya dikit-dikit pulang.”
Kamu
lalu mencium tangan kanan kakakmu.
“Hati-hati,
dik. Barangnya jangan lupa dijaga. Kabari aku kalau sudah sampai.” Pesan
kakakmu sebelum kamu masuk ke stasiun Madiun.
“Ya.”
jawabmu dengan singkat.
Kamu
tersenyum ketika jam dinding yang menggantung di atas tempat
pembelian tiket menunjuk pukul 02.25 WIB. “Masih ada waktu setengah jam sebelum
kereta berangkat. Pasti aku dapat tiket,” pikirmu. Usai dapat tiket kamu segera
chek in, lalu menunggu di tempat
tunggu penumpang.
Pukul 02.50 WIB kereta yang akan
kamu naiki datang. Kamu cepat-cepat masuk ke dalam kereta, lalu mencari tempat
duduk sesuai yang tercetak dalam tiketmu. Gerbong 5 nomor 16B tempat dudukmu ternyata
diduduki oleh seseorang. Pemuda lagi.
“Permisi... Ini kan tempat duduk
saya. Cepat pindah sana!” kamu mengusir pemuda itu setengah marah.
Pemuda itu hanya menatapmu datar, seperti tidak
terjadi apa-apa.” Iya, saya akan pindah ke tempat duduk saya sendiri.”
“Nah, ya harusnya gitu.” katamu
masih dengan cemberut.
Kamu mengedarkan pandangan ke sekelilingmu. Tempat
duduk begitu penuh dengan penumpang. Maklum, hari Senin adalah hari pertama
kerja setelah dua hari weekend. Kamu
mengeluh ketika menyadari tidak ada satu pun orang di dalam kereta yang kamu
kenal. Tapi... Degh! Kamu terkejut
melihat nama kampusmu dan nama jurusan kuliahmu tertulis di jaket pemuda yang
tadi kamu usir. Pemuda itu kini duduk di gerbong 5 nomor 16D, ada di sebelahmu
tapi beda bangku...
“Mati aku, ternyata dia adalah kakak kelasku. Aduh, bagaimana
ini? Semoga saja dia tidak mengenalku.” Kamu merasa khawatir.
Kepala lokomotif kereta api mengeluarkan asap hitam.
Suara berisik mengiringi gesekan antara roda dan rel kereta api. Jug… Jug… Jug… Jeglek… Jeglek… Jeglek…
“Kamu
kuliah atau kerja?” Pemuda itu mulai bertanya ke kamu.
“Kuliah.”
“Dimana?”
“Di (suatu kampus) jurusan Fisioterapi, angkatan
2013.” Kamu lalu meringis kecil.
Pemuda itu menatapmu lekat-lekat, karena merasa
tidak percaya dengan jawabanmu barusan. “Kita satu kampus. Aku fisioterapi
angkatan 2011.”
“Iya aku tahu,”
Pemuda itu mengerutkan kening. “Darimana kamu tahu?”
“Dari jaket yang kamu pakai,” Kamu
lalu menunjuk nama jurusan yang tertulis di jaket pemuda itu.
“Oh ini.” Pemuda itu lalu tersenyum.
“Oh ya, namaku Ihsan.” Pemuda itu memiringkan
kepala. “Namamu siapa?”
“Nurin.” jawabmu singkat.
“Aku asli Madiun. Kalau kamu?”
tanyanya.
“Aku asli Ngawi,” jawabmu.
Kamu sedikit takut karena dia adalah
kakak kelasmu. “Tapi masak tidak ngobrol sama sekali dengannya? Daripada bosan
diam saja nggak apa-apa lah ngobrol sama dia.” katamu kepada dirimu sendiri.
Satu jam berlalu. Kamu mulai merasa bosan, apalagi
ketika kereta api sedang berhenti. Kamu memang mudah bosan dimanapun dan kapanpun.
Akhirnya kamu menghilangkan bosan dengan melihat luar lewat jendela. “Oh,
rupanya sedang berhenti di stasiun Nganjuk...”
Beberapa saat setelah kereta api berangkat lagi dari
stasiun Nganjuk, palang setrap-setrip merah dan putih bergerak menutup di kedua
sisi jalan. Rentengan gerbong kereta api warna putih yang kamu naiki tetap melaju
kencang. Begitu seterusnya setiap kereta api mendekati palang pintu, sampai
kereta api tiba di stasiun Surabaya
Gubeng.
Matamu
membelalak ketika menangkap dua laki-laki yang berangkulan di dalam kereta api.
Kamu risih, tapi juga senang karena merasa terhibur. Bukan kamu kalau tidak
pandai merekam momen, apalagi momen aneh. Kamu cepat-cepat memotret dua
laki-laki itu. Dan... ketika itu juga kakak kelasmu yang kamu kira sedang tidur
ternyata melihatmu.
“Mati dua kali aku.
Ketahuan dia ternyata.” ucapmu dalam hati.
Kamu perlahan menghela nafas. “Ya sudah lah. Sudah
terjadi, mau apa?”
Pukul
06.00 WIB kamu disambut hujan deras ketika sampai di stasiun Surabaya Gubeng.
“Kenapa hujan datang tidak pada waktu yang tepat?”
rutukmu dalam hati.
Kamu memilih duduk dulu di tempat tunggu...
Di sebelah kiri, kamu melihat para sopir taksi dan
ojek menawarkan tumpangannya ke hampir setiap orang yang ditemui. Di antara
mereka ada juga yang sambil menawarkan payung supaya calon penumpangnya tidak
kehujanan.
Di sebelah kanan kamu melihat orang-orang
berlari-lari berusaha untuk menghindari hujan. Di antara mereka, tidak ada
pakaiannya yang sempurna kering. Mungkin mereka lupa membawa payung. Atau
mungkin mereka malas membawa payung. Matamu membelalak ketika dari arah pojok
kiri ada muda-mudi di bawah satu payung, berjalan menuju tempat tunggu sambil
bercanda ria dan tertawa lepas.
“Ih, apa sih bagusnya hujan? Perasaan hujan ya biasa
saja. Tidak bisa bikin romantis,” katamu lirih setelah melihat dua orang lawan
jenis dalam satu payung. Bukannya kamu iri dengan mereka, tapi kamu merasa
risih saja dengan mereka, karena dalam benakmu mereka adalah salah satu bentuk
dari lebay.
Hmm... kapan sih kamu pernah menganggap romantis
sebagai sebuah anugerah? Selama ini aku mengenalmu sebagai orang yang konyol.
Bahkan aku pernah melihatmu pacaran (ketika masih sekolah dulu), dan kamu
selalu bertindak konyol terhadap pacarmu.
“Mau kemana?”
Kamu berusaha tersenyum. Namun yang
ada hanya senyum yang kamu paksa keluar. Karena, suara barusan adalah milik
pemuda yang kamu usir di dalam kereta api tadi.
“Mau jalan kaki ke Jalan Dharwangsa,”
jawabmu.
“Kosmu di jalan Dharmawangsa?”
“Iya,”
“Jangan jalan kaki. Hujan deras lo. Bareng aku saja.
Aku antar sampai kosmu ya?”
Kamu tak punya pilihan lain selain mengiyakan
tawaran dari Ihsan. Ihsan cepat-cepat mengambil sepeda motornya di parkiran. Kamu
lalu boncengan berdua dengannya. Aneh memang. Kamu baru saja bilang kalau
muda-mudi berjalan bersama di bawah guyuran hujan adalah hal lebay, tapi kamu
melakukannya juga.
Setelah lima menit perjalanan, kamu
dan Ihsan sampai di depan kosmu. Kamu menawari dia untuk singgah sebentar, dan
dia mengiyakan.
Ihsan bertanya ke kamu, boleh apa nggak minta pin
bbm mu.
Kamu mengangguk, tanda membolehkan
permintaannya.
Kalian berdua lalu asyik bertukar pin bbm.
“Berarti kamu kenal sama Dinta ya?”
Ihsan bertanya pelan, karena suaranya sedikit terganggu dengan air hujan yang
jatuh.
“Iya.” Suaramu juga pelan karena
terganggu air hujan yang jatuh.
“Kalau sama Dinta aku kenal.” kata
Ihsan.
Percakapan kalian pun jadi selesai
ketika Ihsan pamit pulang, karena hujan dirasa sudah mulai reda. Sebelum Ihsan
naik ke sepeda motor, dia berbalik. Kamu bingung. Ada apa lagi, pikirmu. Kamu
sebagai perempuan merasa dihormati ketika dia mengucapkan kalimat, “Kita tidak
boleh menyia-nyiakan kesempatan berkenalan ini, bukan?”
Bulan
Juli tahun 2015. Tepat tiga bulan kamu dan Ihsan saling mengenal.
Ihsan mengajakmu makan malam di kafe Gotri. Kamu pun mau.
“Sebenarnya maksud kamu tiap hari menemuiku
itu apa?” tanyamu ke Ihsan ketika kalian sudah sama-sama duduk di dalam kafe
Gotri.
“Ya lebih dekat dengan kamu, lebih kenal kamu, lebih
tahu kamu.”
“Hanya itu? Hanya berteman saja?”
Ihsan diam.
“Aku nggak hanya dekat sama kamu, mas. Jadi kalau
kamu memang serius untuk menjalin hubungan yang lebih dari teman ya silakan.
Tapi kalau nggak ya silakan, dan jangan berharap.” Kamu menjelaskan dengan
panjang lebar.
Ihsan diam sejenak. “Memang kamu
lagi dekat sama siapa?”
Mata
Ihsan menatapmu
dengan dalam.
Kamu hanya seperti patung
dalam beberapa waktu. Kamu tahu kalau Ihsan berusaha agar kalian bisa
saling jujur. Tapi
kamu tidak berani menyebut nama pemuda yang dekat denganmu di hadapan Ihsan. Karena nama itu adalah nama sahabatnya
Ihsan. Kamu hanya sering
menunduk. Tidak berani menatap wajah Ihsan dengan lama, apalagi menatap mata dan alis tebalnya yang kamu senangi itu.
“Rahasia, dong.” Kamu menatap tajam
raut muka Ihsan. “Memang kamu sedang dekat dengan perempuan lain?”
“Iya,”
“Siapa?”
“Silvi,”
Kamu terkejut. Kamu tahu, Silvi adalah
pacar dari pemuda yang dekat denganmu.
“Aku dekat dengan Revan.” katamu.
Degh!
Ihsan
terkejut. Rupaya terkejutnya Ihsan lebih parah dari terkejutmu tadi. Ihsan juga
tahu kalau Silvi dan Revan berpacaran. Kamu hanya bisa menghela nafas. Malam
itu kamu dan Ihsan sama-sama tahu dan sama-sama mengerti, bahwa menu makan kalian
malam itu adalah kesunyian.
Sudah
seminggu Ihsan tidak memberimu kabar. Rupanya kamu mulai merindukan Ihsan,
dan kamu rasa itu bukan rindu yang biasa saja. “Kemana saja dia? Apa dia
benar-benar serius denganku?” tanyamu dalam hati.
Setelah seminggu kamu dan Ihsan tidak saling memberi
kabar, Ihsan mulai datang lagi ke kamu. Dia mulai menyapamu dan berbasa-basi yang
tidak penting.
“Sehat nggak sih hubungan kita? Kita
ini apa?” Ihsan bertanya ke kamu ketika suatu hari dia datang ke kosmu.
“Kalau berteman ya sehat-sehat saja.
Tapi... ya nggak tahu lagi.”
“Soalnya dua orang yang sedang dekat
dengan kita adalah sepasang kekasih. Ini lucu, aneh, apa gimana sih menurutmu?”
Kamu menaikkan bahu. “Entahlah,”
Hari-hari
terus berjalan. Tanggal-tanggal yang tercetak di kalender terus
berganti.
Sampailah pada tanggal 3 Oktober 2015 di depan kosmu...
“Nurin, kita pacaran saja yuk?” tanya
Ihsan kepadamu.
“Ya sudah. Ayo,”
“Oke.”
Kamu sama sekali tidak menyangka akan jadian dengan
kakak kelas yang pernah kamu usir ketika di kereta api. Kamu semakin tidak
menyangka ketika tanggal 5 Februari 2017 Ihsan dan keluarganya datang ke
rumahmu untuk melamarmu. Kamu jelas tidak bisa menolak lamaran orang yang
sempurna menerimamu dan mampu membuatmu nyaman.
Ternyata,
perjalanan pagi-mu ketika itu mendekatkan
kamu dengan jodohmu. Aku yakin, cerita perjalanan
pagi-mu itu sudah diskenariokan oleh Yang Maha Kuasa.
- Naima Janatin Akbar -

Komentar
Posting Komentar