Cerpen "Kembali"

Kembali
Oleh : Naima Janatin Akbar

Mendung yang menggantung di langit sejak 15 menit yang lalu akhirnya meluruhkan butir-butir air. Matanya memejam, berusaha melupakannya. Bukannya menghilang, bayangan menakutkan itu semakin kuat menyelimuti pikirannya. Wusshh...! Angin musim hujan menghembus pelan.
Hujan. Ia takut dengannya. Setiap kali hujan turun, peristiwa itu teringat lagi.
Sepuluh menit berlalu. Ia masih duduk di halte bus. Sembari menunggu bus kota datang, dibacalah novelnya. Ia memang suka membaca sejak kecil. Matanya melihat ke arah kanan, arah bus itu datang. Bus belum datang. Degh! Tiba-tiba ia tersentak. Di samping kanannya ada seorang gadis seusianya. Kapan gadis itu datang? Apa saat ia membaca novel tadi?
“Hai... Bukankah kita sekampus?”
“Oh iya, kita sekampus.” jawab gadis itu.
“Aku Radit,” ucapnya dengan mengulurkan tangan kanannya.
            “Aku Okta,” jawabnya dengan membalas uluran tangan kanan Radit.
Okta mengalung senyum, lalu memandang hujan yang turun.
            “Kenapa kau memandang hujan seperti itu?” tanya Radit sambil mengernyitkan kening.
“Aku suka hujan. Hujan selalu membawa berkah.”
Hujan sedikit mereda, tepat dengan datangnya bus kota. Okta langsung melenggang masuk ke bus kota. Radit juga ikut masuk.
“Apa hujan itu sebenarnya memang indah?” tanya Radit dalam hati. Kini gadis itu meninggalkan beribu pertanyaan di pikirannya.
***
Keesokan harinya. Entah kenapa, ia dan gadis itu selalu datang pada waktu dan tempat yang sama. Sejak dua pekan di halte bus itu saat akan pulang. Radit memang sering naik bus kota, tepatnya sejak ia masih SMP. Ia tak pernah merasa bosan. Ia mampu menikmati bus kota.
Di dalam bus kota, Radit dan Okta duduk bersebelahan.
“Apa yang kau suka dari hujan?”
Okta sedikit bingung dengan pertanyaan Radit yang tiba-tiba membahas hujan lagi. Setelah diam sesaat, gadis berambut panjang itu melanjutkan, “Hujan dapat menghidupkan segala yang ada di bumi, mulai dari manusia, hewan, dan tumbuhan.”
            “Tapi hujan telah merenggut nyawa seseorang yang aku cintai.”
“Kematian adalah takdir dari Tuhan yang tidak bisa ditawar. Setiap sesuatu yang hidup, pasti akan mati.”
“Hujan membuat nasibku menjadi tragis.”
“Seberapa tragis nasibmu?”
“Sampai saat ini aku belum tahu ayahku, seperti apa raut mukanya, dan bagaimana sifat serta sikapnya. Apakah dia mirip denganku, atau tidak. Saat aku akan masuk kuliah, di saat hujan turun dengan deras, ibuku meninggal karena kecelakaan tunggal.”
            “Kau masih lebih beruntung,”
Radit diam. Dipandangnya luar bus kota dari jendela. Tempat duduknya memang dekat jendela. Saat ia menoleh ke Okta dan suaranya akan keluar, tiba-tiba Okta beranjak dari tempat duduk dan akan turun. Rasa penasaran kembali menggelayutinya.
***
            Jam menunjuk pukul 9 pagi. Kampus tempat Radit dan Okta kuliah sudah ramai, sudah banyak orang. Seperti rencana Radit sebelumnya, ia akan menuju perpustakaan. Jalannya begitu mantap, tanpa keraguan apapun.
            Tempat yang kaya buku itu masih sepi, belum banyak pengunjung. Sangat berbeda dengan lobby, koridor, dan depan kelas-kelas yang sudah ramai. Radit menuju majalah kampus. Belum sempat Radit memilih-milih majalah, matanya tertuju pada gadis di pojok dekat jendela. Gadis itu begitu larut dengan bacaannya. Radit pun menghampirinya.
            Hai Okta!
            Okta menatap pemilik suara yang menyapanya. “Radit? Kau di sini juga?”
            “Ya,” jawabnya dengan tersenyum.
            Okta tertawa kecil.
            “Kau suka membaca buku?”
            “Ya, aku suka membaca buku.” jawab Okta dengan percaya diri.
            “Boleh aku membahas hal yang kemarin?”
            “Boleh. Ada apa lagi?”
            Radit menghela nafas perlahan. Sebenarnya ia takut untuk bertanya. Takut jika peristiwa itu akan menghantuinya lagi, dan lagi. Namun ia harus berani. Ia harus tahu.
            “Maksudmu aku lebih beruntung?”
            Okta tidak langsung menjawab. Matanya menyapu ke segala sudut tempat favoritnya itu, sambil membuka memori-memori lamanya. Sesaat, suaranya keluar, “Sejak bayi sampai sekarang aku hidup di panti asuhan. Aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku, dan tidak pernah bertemu dengan mereka. Di panti asuhan, aku hidup bersama teman-teman yang bernasib sama denganku. Kami makan, mandi, tidur, dan sekolah bersama-sama. Kalau hujan turun, kami sering bermain-main di bawahnya. Sangat seru. Pengasuh panti asuhan sering bilang, hujan itu sebuah berkah. Sekarang kau tinggal dimana?”
            “Tinggal di rumah paman dan bibiku.”
            Okta tersenyum. “Bukankah itu lebih beruntung dariku?”
            Radit tertegun. Lidahnya mendadak kelu. Mau menelan ludah menjadi berat. Sungguh, ia hanya bisa mematung, tidak mampu menjawab. Selama ini, ia selalu merasa nasibnya paling buruk. Ternyata dugaannya salah besar. Benar kata Okta. Nasibnya masih lebih beruntung dari Okta, gadis yang suka membaca buku itu.
***
            Bau bunga kamboja menyeruak di setiap penjuru. Hari masih sore. Tempat itu begitu tenang dan sepi. Di atas tanah itu berjejer batu-batu nisan beraneka bentuk. Langkah perempuan paruh baya dan laki-laki muda itu hati-hati. Keduanya tidak ingin menginjak gundukan tanah dengan kayu penanda atau batu nisan. Mata perempuan paruh baya terus melihat dengan teliti satu per satu batu nisan. Mencari nama. Nama adiknya dan adik iparnya. Laki-laki muda itu mengikutinya di belakang tanpa protes. Saat mendekati pohon kamboja di bagian pojok belakang kanan dari makam, langkah perempuan itu berhenti. Laki-laki muda itu juga ikut berhenti.
            Sepasang mata Radit memandang makam itu dengan berkaca-kaca. Tak berapa lama, air matanya luruh. Perempuan paruh baya di sampingnya-yang tak lain adalah bibinya-mengelus punggungnya lembut. Perempuan itu adalah kakak dari ibunya Radit.
            Radit segera mendoakan ayah dan ibunya. Bibinya juga ikut mendoakan ayah dan ibunya Radit. Setelah mereka merasa cukup dalam mendoakannya, mereka pun pulang ke rumah.
            Di rumah paman dan bibinya Radit hanya ada Radit, paman, dan bibinya. Kedua sepupu Radit yang tak lain adalah anak perempuan dari paman dan bibinya sudah menikah semua, jadi tidak tinggal di rumah itu lagi.
            Di ruang tengah. Bibinya Radit mengingat kejadian itu. “Saat itu hujan turun dengan syahdu, tidak deras dan tidak terlalu kecil. Kau lahir dengan selamat. Keluarga kami sangat bahagia dengan kehadiranmu. Kau sangat mirip dengan ayahmu. Tetapi, ada seorang perempuan yang sangat membenci ayahmu, karena ayahmu menikah dengan ibumu. Saat umurmu satu tahun, perempuan itu membunuh ayahmu. Beberapa hari setelah ayahmu meninggal, pembunuh itu bunuh diri. Ibumu sempat syok selama tiga bulan karena peristiwa itu.”
            Bibi menghela nafas sejenak. Lalu, kembali berkata, “Aku berharap kau tidak menyimpan marah atau dendam tentang masalah ini. Karena jika kau menyimpan marah atau dendam, justru masalah ini akan semakin rumit.”
            Radit menggangguk paham.
            “Bibi minta, kau jangan memiliki karakter yang sangat keras seperti perempuan yang membunuh ayahmu itu,” ucap bibi dengan air mata menetes di pipinya.
            “Iya, bi.”
            Radit tidak bisa membendung air matanya. Ia tidak ingin tahu siapa perempuan itu, dimana tempat tinggalnya dulu, dan segala tentangnya. Sungguh. Ia tidak mau masa lalu itu menjadi pengganggu hidupnya sekarang. Bibinya membelai rambut Radit dengan lembut. Sebuah kehangatan menyelusup lembut di hati Radit. Sungguh, Radit memang lebih beruntung dari Okta.
***
            Radit bersama paman, bibi, dan sepupunya telah berada di suatu rumah. Ramai adalah kesan pertama saat berada di rumah itu. Bayi, balita, anak-anak, remaja, sampai yang seumuran dengan Radit ada di sana. Mereka begitu ceria, seperti tidak ada beban. Sama seperti gadis yang kini duduk-duduk di teras rumah itu.
“Kau begitu kuat, Okta.” Ujar Radit.
Okta hanya tersenyum tanpa suara.
            “Masih takut sama hujan?”
            Radit menggeleng. Kau telah mengajariku banyak hal, terutama tentang hujan. Benar, hujan itu membawa berkah. Sekarang, aku tidak takut lagi dengan hujan. Terima kasih banyak, ya.”
Langit cerah mengiringi bibir Radit dan Okta yang serempak melengkung manis. Sore itu cuaca sedang bersahabat. Canda dan tawa anak-anak panti asuhan yang bermain kejar-kejaran di halaman semakin menambah suasana menjadi bersahabat. Jumlah mereka sangat banyak, sekitar lima belas orang. Seru sekali. Segerombol burung-burung yang melintas di angkasa seolah juga ikut senang. Kini, Radit yang takut hujan itu telah hilang, telah lenyap. Radit telah kembali. Kembali menemukan keluarganya, kembali menemukan kebahagiaannya.
“Terima kasih, Tuhan. Kau telah memberikan kebahagiaan untukku lewat hujan-hujan itu.” ujar Radit dalam hati.
(Selesai)

Komentar